Minggu, 01 Maret 2009

PLTMH

Berita MST :
REVOLUSI ENERGI di INDONESIA PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) SEBAGAI JAWABAN KRISIS LISTRIK DI INDONESIA
MST, ,

Oleh : Dr.-Ing. Ir. Agus Maryono

Ketua Magister Sistem Teknik Konsentrasi Mikrohidro, Universitas Gadjah Mada, Peneliti Ekohidraulik, Sungai dan Lingkungan.Krisis listrik di Indonesia nampaknya akan semakin berkepanjangan, sejalan dengan “angkat tangannya” Perushaan Listrik Negara (PLN) dalam menopang kebutuhan listrik di seluruh nusantara. Krisis listrik ini sebenarnya telah dipredikasi banyak ahli energi di Indonesia sejak lima tahun yang lalu. Pemadaman bergilir dan pemadaman tetap yang sudah diberlakukan di kota-kota besar di Sumatra (Kompas 12 Juli 2004) nampaknya akan segera merembet ke daerah lain di masa yang akan datang.Pada era otonomi dewasa ini, kebutuhan energi dapat meningkat secara eksponensial, baik ditinjau dari kapasitasnya, kualitasnya maupun ditinjau dari tuntutan distribusinya. Tahun 2004/2005 kebutuhan energi di Jawa dan Bali sebesar 90.000 MWh sedangkan di luar Jawa-Bali sebsar 25.000 MWh. Tahun 2010 nanti diperkirakan kebutuhan energi meningkat drastis menjadi 140.000 MWh untuk Jawa-Bali dan 35.000 MWh untuk luar Jawa-Bali. Jika masing-masing Kabupaten dan Provinsi di seluruh Indonesia melakukan fungsi otonominya secara intensif dengan menyelenggarakan pembangunan dimasing-masing daerah, maka prakiraan kebutuhan tersebut jelas akan jauh terlampaui. Pembangunan daerah pasti akan mengalami hambatan serius, jika pasokan energi macet atau terganggu seperti yang sekarang ini terjadi. Pemeritah dan masyarakat perlu waspada, jika tren perkembangan penyediaan energi dan kemampuan pendistribusian energi masih seperti sekarang ini, maka dapat dipastikan akan terjadi stagnasi pembangunan disebagian besar daerah di Indonesia, karena sudah bukan rahasia lagi terdapat signifikansi yang tinggi antara ketersediaan energi dan laju pembangunan daerah.Melihat kondisi di atas maka perlu dicari strategi baru yang dapat memenuhi kebutuhan energi dengan meningkatkan produksi energi sekaligus menciptakan kemudahan distribusi energi ke seluruh pelosok tanah air. Pola pengembangan penyediaan energi untuk pembangunan tidak dapat lagi secara terpusat melalui PLN saja misalnya, namun perlu didorong secepatnya desentralisasi dan otonomi dalam bidang penyediaan dan pengelolaan energi. Setiap provinsi dan kabupaten harus sudah mempunyai masterplan penyediaan energi untuk daerah masing-masing yang disusun berdasarkan rencana pembangunan daerah yang bersangkutan. Masterplan penyediaan energi daerah tidak lagi hanya menggantungkan diri kepada PLN saja, namun perlu segera dibentuk Badan atau Perusahaan Listrik Daerah (PLD). Tugas PLD adalah secara serius mengusahakan terpenuhinya kebutuhan listrik daerah yang bersangkutan.

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi daerah diperlukan upaya sebesar-besarnya penciptaan sumber energi yang dapat dikembangkan di daerah yang bersangkutan, misal energi terbarukan ramah lingkungan antara lain tenaga panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, tenaga gelombang laut, bio massa dan pembangkit tenaga air. Disamping itu juga sumber enegi tak terbarukan dari fosil, misalnya tenaga batu bara, minyak dll. Untuk pengembangan energi tak terbarukan atau tidak ramah lingkungan ini, perlu kajian-kajian mendalam tentang dampak lingkungan akan muncul secara serius.

Salah satu sumber energi yang sangat cocok di Indonesia yang akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini adalah Pembangkit Listrik Tenga Mikrohidro (PTMH). PLTMH adalah salah satu Pembangkit Lidtrik Tenaga Air (PLTA) low head dengan kapasitas kurang dari 500 Kilo Watt (KW). Potensi total PLTMH di Indonesia tahun 2002 adalah sebesar 500 Mega Watt (MW), yang sudah dimanfaatkan baru 21 MW. Potensi tersebut sebenarnya masih akan meningkat sejalan dengan intensitas studi potensi yang dilakukan untuk menemukan lokasi-lokasi baru. Jika potensi PLTMH dapat di kembangkan maka paling tidak 12.000 MWh (Mega Watt hour) atau sebesar 14 % dari kebutuhan energi total Indonesia tahun 2005 dapat disumbang dari PLTMH. Jika studi potensi PLTMH dapat diintensifkan, maka prosentase sumbangan PLTMH terhadap kebutuhan energi nasional meningkat juga.

Potensi PLTMH di Indonesia tersebar diseluruh kepulauan nusantara. Baik pulau besar maupun kecil. Jutaan sungai dari hulu sampai hilir di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, Madura, , Lombok, Sumbawa, Flores, Timor, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya semuanya dapat dimanfaarkan untuk dibangun PLTMH baik berskala 5 KW sampai 500 KW. Karena potensi PLTMH tersebut tersebar, maka tingkat kesulitan distribusi kecil, dibanding dengan pembangkit yang terspusat. Disamping itu PLTMH dapat dimanfaatkan untuk daerah-daerah terpencil yang sama sekali belum mendapat pasokan listrik. Sehingga dengan mengembangkan PLTMH pemerataan kesempatan untuk mendapatkan kue pembangunan dan Informasi lebih cepat tercapai.

PLTMH dipilih karena disamping ramah lingkungan (tidak mengeluarkan emisi) juga secara teknologi dan investasi dapat dijangkau oleh setiap pemerintah provinsi dan kabupaten di Indonesia dan hasil energinya dapat segera dinikmati masyarakat.

Teknologi PLTMH dapat dikatakan sederhana. Jika terdapat beda tinggi air di suatu wilayah atau alur sungai, baik berupa terjunan, alur sungai yang curam atau aliran air sungai yang bisa dibendung, maka disitu dapat dibangun PLTMH. Besar kecilnya tenaga listrik yang dihasilkan tergantung debit air dan beda tinggi (head) yang ada. Misal untuk debit 0,5 m3/dt (misal sungai kecil) dengan beda tinggi 8 m dan efisiensi 60%, dapat dibangkitkan sekitar 24.000 Watt listrik. Listrik 24.000 Watt ini dapat dipakai mengaliri 240 rumah penduduk dengan tiap rumah 100 Watt secara terus-nenerus (24 jam). Listrik tersebut dapat dipakai untuk industri kecil sebanyak 24 unit dan tiap unit mendapat 1000 Watt dalam 24 jam menyala terus menerus. Jika dilengkapi dengan komponen penyimpanan energi misal Accumulator (Accu) atau alat lain yang sejenis, maka energi dari PLTMH ini menjadi sangat efektif. Kelebihan lain PLTMH adalah karena suplai listrik terus-menerus (24 jam), pada malam hari dapat dipakai sebagai penerangan jalan, pemukiman dan perkantoran dan pada siang hari disalurkan utuk pengembangan industri kecil dan menengah di daerah yang bersangkutan atau untuk kebutuhan lainnya.

Komponen-komponen PLTMH, seperti komponen mechanical work seperti turbin (misal tipe Cross flow dan open flume tipe Kaplan) dan sistem kontrol turbin (control system) umumnya sudah dapat dibuat oleh pabrik-pabrik manufaktur skala kecil yang ada di Indonesia maupun bengkel perorangan dan beberapa Perguruan Tinggi. Sedangkan komponen generator pembangkitnya dapat dibeli di pasaran dengan mudah. Komponen bangunan sipil (civil work) umunya mudah dikuasai para konsultan dan kontraktor sipil, termasuk juga masyarakat dengan fasilitasi tenaga ahli.

Biaya investasi untuk PLTMH yang meliputi civil work, mechanical work dan electrical work, secara umum adalah antara 15 - 20 juta rupiah per KW energi bangkitan (tidak termasuk biaya pendistribusian). Implementasi secara sederhana adalah misalnya di suatu desa ada sekitar 100 Kepala Keluarga (masing-masing 100 Watt, total 10.000 Watt), maka diperlukan investasi sebanyak 150 - 200 juta rupiah. Umur PLTMH rata-rata dapat mencapai 25 tahun dengan perawatan yang baik. Jika tiap kepala keluarga membayar 25 ribu rupiah per bulan (tergantung tingkat kemampuan masyarakat), didapat uang sebanyak 2,5 juta rupiah per bulan, sehingga dapat diperkirakan bahwa investasi akan kembali dalam waktu 8 tahun. Tentu saja hitungan tersebut hanya didasarkan keuntungan sisi pengembalian investasi, namun jika keuntungan kemajuan masyarakat akibat dari energi dan penerangan yang masuk di daerah tersebut diperhitungkan secara integral, maka keuntungan dengan adanya PLTMH tersebut akan sangat tinggi.

PLTMH untuk daerah-daerah yang sudah terdapat jaringan PLN, dapat digunakan sebagai pemasok energi untuk industri, baik menengah maupun industri kecil yang ada. Disamping itu berdasarkan Kepmen no. 1122/K/30/MEM/2002, PLTMH dapat menjual energi bangkitannya langsung kepada PLN melalui interkoneksi ke jaringan PLN. Dalam Kepmen tersebut ditegaskan bahwa PLN punya kewajiban untuk membeli listrik dari PLTMH yang menjual energi bangkitannya. Harga beli PLN untuk per KWh listrik tegangan menengah dan rendah masing-masing sebesar 80 % dan 60% dari Harga Pokok Penjualan (HPP). Kepmen ini merupakan langkah maju dalam desentralisasi penyediaan energi listrik, namun perlu diadakan perubahan sehingga harga listrik dari PLTMH minimal sama dengan HPP. Hal ini mengingat PLTMH merupakan pembangkit listrik terbarukan yang ramah lingkungan, sehingga harus mendapatkan perlakuan lebih baik dari pembangkit listrik dibandingakan dengan pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil.

Namun demikian, pemerintah dan masyarakat perlu waspada terhadap pembangunan PLTMH ini, karena sebenaranya kita punya pengalaman pahit dengan PLTMH pada era tahun 80 - 90 an. Dimana PLTMH dibangun dengan konsep sangat top down tanpa melibatkan masyarakat dan tanpa dibarengi dengan penyediaan dan pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang menguasai teknologi dan sosio-ekonomi PLTMH. Sehingga sekitar 75 % dari PLTMH yang dibangun pada tahun-tahun tersebut dalam kondisi rusak. Kedepan pemerintah dalam hal ini jajaran Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral dan Kementrian Pemikiman dan Prasarana Wilayah serta Pemerintah Provinsi dan Kabupaten perlu menyusun strategi pengembangan PLTMH yang komprehensif dan berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat di seluruh provinsi dan kabupaten di Indonesia. Perlu pendanaan yang signifikan untuk pengembangan SDM bidang PLTMH dan tidak terpusat di Jakarta atau Bandung saja, namun justru SDM di daerah-daerah. Sehingga mereka secara simultan mampu mengidentifikasi potensi PLTMH di daerahnya, mampu membangun, mampu memelihara dan mampu mengelola PLTMH secara sosio-ekonomis dan efisien. Jika mereka mampu menguasi PLTMH maka dalam perjalanan profesinya akan meningkat untuk menguasai Pembangkit Listrik Mini Hidro (kapasitas 500-1000 KW) dan akhirnya mampu bermain di level High Head (kapasitas lebih dari 1 MW). Jika sumberdaya manusia yang menguasahi PLTMH dapat tersebar di seantero nusantara dalam kualitas kompetensi dan kuantitas yang cukup dan mereka diakomodasi serta didukung kreativitasnya untuk membangun sumber-sumber energi di masing-masing daerah, maka harapan terjadinya suatu Revolusi Energi Indonesia akan menjadi kenyataan dan krisis energi dapat dieliminasi. Jika tidak maka stagnasi pembangunan daerah akan benar-benar terjadi.

di salin dari:

http://mst.gadjahmada.edu/berita.asp?id=38&code=1

Managemen Air Hujan di Indonesia

Manajemen Air Hujan di Indonesia

Agus Maryono

Dunia ke depan dibayang-bayangi oleh krisis yang sangat mengancam, yaitu krisis persediaan air bersih. Demikian juga di Indonesia, masalah air bersih ini akan secara eskalatif memanas dari tahun ke tahun.

Sengketa atas penggunaan mata air oleh masyarakat dan PDAM di berbagai daerah dan penurunan muka air tanah serta penurunan debit mata air di sebagian besar wilayah Indonesia merupakan suatu indikasi adanya masalah air bersih yang cukup serius dewasa ini.

Di samping itu, kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan secara rutin menimpa kita. Masalah tersebut di antaranya disebabkan oleh kesalahan dalam pengelolaan wilayah daerah aliran sungai dan juga kerusakan lingkungan yang terus berjalan sekarang ini.

Kita sebagai bangsa yang menempati wilayah dengan curah hujan cukup tinggi, 2.000-4.000 mm/tahun, ternyata belum tergerak sedikit pun untuk mengelola potensi air hujan yang begitu besar tersebut.

Tulisan ini menyajikan konsep memanen air hujan (rain water harvesting) untuk segera dikembangkan di Indonesia guna menanggulangi masalah di atas. Istilah memanen hujan sebenarnya berasal dari bidang pertanian, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan air pertanian di daerah arid dan semi arid.

Namun, upaya memanen hujan di dunia internasional saat ini menjadi bagian penting dalam agenda global environmental water resources management dalam rangka penanggulangan ketimpangan air pada musim hujan dan kering (lack of water), kekurangan pasokan air bersih penduduk dunia, serta penanggulangan banjir dan kekeringan.

Memanen hujan dapat didefinisikan sebagai upaya menampung air hujan untuk kebutuhan air bersih atau meresapkan air hujan ke dalam tanah untuk menanggulangi banjir dan kekeringan.

Perkembangan terakhir di negara maju yang dapat dilihat di International Exhibition on Water and Wastewater di Munic, Jerman, 24-29 April 2005, justru mulai ada tren besar-besaran untuk membuat kolam tandon air hujan skala rumah tangga untuk keperluan mengepel, mencuci mobil, menyiram tanaman, menggelontor toilet, bahkan ada yang dilengkapi sekaligus dengan perangkat pengolahan air mini sehingga seluruh air hujan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum.

Salah satu contoh implementasi memanen air hujan adalah kebutuhan air bandara di Frankfurt, Jerman, dipasok dari air hujan yang dikumpulkan dari atap bandara tersebut.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa metode hujan yang telah berkembang dan beberapa wacana memanen hujan yang dapat dikembangkan di Indonesia, baik memanen hujan yang langsung bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih rumah tangga maupun memanen air hujan untuk mengisi air tanah.

Metode memanen hujan

Kolam tandon air rumah tangga sudah banyak dipakai masyarakat secara tradisional sebagai cadangan air bersih. Misal kolam tandon harian komunal di Gunung Kidul, DI Yogyakarta (kolam PAH atau kolam pengumpul air hujan).

Tiap keluarga secara individual membuat kolam tandon di bawah rumah atau di bawah teras. Untuk rumah sederhana dan rumah tingkat atau hotel dapat digunakan kolam tandon vertikal bentuk silinder dengan diameter 1-2 meter, disesuaikan dengan desain rumah yang ada, sehingga pengalirannya dapat dengan metode gravitasi.

Metode ini sangat menguntungkan karena minimal selama musim hujan kebutuhan dasar air bersih dapat ditopang dengan bak tandon ini. Dengan cara ini, kantor-kantor pemerintah dan swasta dapat memulai memanen hujan untuk mengurangi anggaran air bersih dari PDAM selama sekitar tujuh bulan (pada musim hujan dan beberapa bulan pada awal musim kemarau).

Metode kolam untuk menampung air sudah dipraktikkan secara tradisional oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Setiap rumah tangga dulu mempunyai kolam jogangan sekaligus untuk memelihara ikan atau merendam kayu.

Metode kolam dalam skala besar juga sangat mudah untuk disosialisasikan melalui pola pemenuhan kebutuhan bahan uruk (bahan galian C). Pemerintah dan masyarakat dapat mencari lokasi tambang galian C, kemudian dikeruk. Hasil galiannya dipakai sebagai bahan uruk, bekas galiannya dipakai sebagai kolam resapan air hujan sekaligus dapat dikembangkan untuk rekreasi.

Cara ini banyak dipraktikkan di negara-negara maju sehingga dalam jangka waktu tertentu mereka mempunyai banyak sekali danau buatan dari tambang galian C. Di samping itu, konstruksi kolam dapat dibangun di areal permukiman.

Limpasan air hujan suatu kawasan permukiman ditampung di kolam untuk diolah kembali menjadi air minum, bahkan untuk kebutuhan air irigasi. Cara ini sudah banyak dipraktikkan di kompleks-kompleks perumahan perusahaan pertambangan di Sumatera dan Kalimantan.

Sedangkan metode sumur resapan sudah banyak dikenal masyarakat dan dapat diimplementasikan pada setiap unit perkantoran, tempat-tempat rekreasi, olahraga, pada ruas-ruas jalan, lapangan terbang, dan lain sebagainya. Masyarakat sudah banyak mengenal sumur resapan, namun implementasinya masih tergolong lambat.

Tanggul pekarangan

Masyarakat di pedesaan di Indonesia sampai saat ini masih mempunyai metode menanggulangi erosi pekarangan dengan membuat "tanggul pekarangan rendah" setinggi 20-30 cm dari susunan batu kosong atau batu bata dan tanaman mengelilingi pekarangan mereka.

Metode tersebut telah banyak dilakukan di daerah Magelang dan Temanggung, Jawa Tengah, dan Sleman, DI Yogyakarta. Konstruksi ini ternyata juga berfungsi sebagai pola memanen hujan karena limpahan limpasan hujan akan tertahan dan meresap di areal pekarangan, tidak langsung mengalir ke sungai, dan sumur mereka tidak pernah kering.

Modifikasi lanskap untuk memanen hujan sedang banyak dikerjakan di beberapa negara maju, misal di Kanada, Jerman, dan Jepang.

Salah satunya dengan mengganti jaringan drainase kawasan dengan cekungan-cekungan di berbagai tempat (modifikasi lanskap) sehingga air hujan akan tertampung di lokasi cekungan tersebut.

Cara modifikasi lanskap ini ternyata dapat menekan biaya konstruksi jaringan drainase suatu kawasan lebih dari 50 persen. Di Indonesia metode ini secara tradisional sebenarnya sudah berkembang.

Masyarakat "memodifikasi lanskap" mereka dengan membuat parit-parit kecil dan cekungan-cekungan dangkal di pekarangan mereka sekaligus sebagai ornamen kebun pekarangan.

Pemerintah dan masyarakat mengusahakan suatu kawasan atau wilayah tertentu yang khusus diperuntukkan sebagai daerah pemanenan air hujan (peresapan air hujan) yang dijaga deversifikasi vegetasinya dan konstruksi apa pun tidak boleh dibangun di atas areal tersebut.

Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai peresapan tinggi dan bebas dari kontaminasi polutan. Konsep ini belum banyak dikenal di Indonesia, maka setiap daerah perlu segera mencari lokasi atau kawasan yang dapat dikembangkan menjadi cagar alam resapan air hujan ini.

Kondisi danau, telaga, dan situ di berbagai tempat di Indonesia semakin memburuk, daya tampungnya berkurang drastis karena sedimentasi, jumlahnya berkurang drastis karena banyak yang diuruk dan dijarah dijadikan areal pemukiman.

Metode rain water harvesting dapat dilakukan untuk merevitalisasi kembali danau, telaga, dan situ dengan konsep ekohidraulik, yaitu memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi dan hidraulik penyusun telaga, situ, dan danau yang bersangkutan sehingga dapat berfungsi menampung dan meresapkan air hujan serta dapat digunakan untuk keperluan air minum maupun pengisian air tanah.

Berdasarkan penelitian di daerah Pati, Grobogan, dan Gunung Kidul, danau, telaga, dan situ yang masih alami sempadannya umumnya kualitas dan kuantitas airnya bagus.

Terakhir, ironis sekali karunia hujan yang begitu besar di Indonesia ini masih kita telantarkan. Air hujan dengan kualitas cukup tinggi yang turun lima sampai enam bulan dalam satu tahun di kawasan kita sungguh merupakan potensi yang sangat luar biasa.

Namun, sebagian besar masyarakat kita tidak sadar bahwa air hujan yang hampir setiap hari mengguyur rumah dan membasahi pelataran kita dapat digunakan sebagai sumber air bersih yang andal.

Padahal, kita sadar bahwa kondisi penyediaan air bersih negara ini mengkhawatirkan, banjir dan kekeringan setiap tahun selalu mengancam. Sementara itu, teknologi tradisional dan kearifan lokal untuk memanen hujan yang pernah dan masih ada dalam masyarakat kita kebanyakan sudah tidak dimengerti generasi muda kita.

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah dan masyarakat mulai sekarang adalah menyadarkan masyarakat tentang potensi air hujan ini serta menggali dan mengembangkan metode-metode tepat guna untuk memanen hujan seoptimal mungkin guna pemenuhan kebutuhan air kita sehari-hari, mengurangi banjir dan kekeringan.

Dr Ing Ir Agus Maryono Peneliti Ekohidraulik, Sungai, Banjir, Kekeringan, dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada

Ramalan Cuaca

PERUBAHAN IKLIM DIY MENGKHAWATIRKAN

Selasa, 9 September 2008 | 10:44 WIB

Yogyakarta, Kompas - Perubahan iklim di DI Yogyakarta dari tahun ke tahun semakin mengkhawatirkan. Jika langkah antisipasi dengan reboisasi dan pembuatan sumur resapan tidak segera dilakukan, perubahan iklim akan semakin membawa dampak buruk. Perubahan iklim menyebabkan semakin maraknya aneka bencana, mulai dari banjir, tanah longsor, hingga kekeringan. Ketua Program dan Ketua Konsentrasi Mikrohidro Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Maryono mengatakan telah mengamati kecenderungan perubahan iklim ini dari data sekunder sejak tahun 1976 hingga 2007. Dari pengolahan data sekunder Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Lanud TNI AU Adisutjipto, diketahui bahwa dalam kurun 30 tahun terdapat kenaikan temperatur udara rata-rata 0,6 derajat Celsius. Menurut Agus, tren kenaikan temperatur tersebut terjadi baik pada pagi, siang, maupun malam hari. Perubahan temperatur udara rata- rata internasional hanya 1 derajat Celsius dalam kurun waktu 100 tahun.

Berarti, kenaikan suhu di Yogyakarta berada di atas rata-rata internasional, tutur Agus saat ditemui di kantornya, Senin (8/9). Kepala Seksi Data dan Informasi BMG Yogyakarta Tiar Prasetya membenarkan bahwa perubahan iklim di Yogyakarta memang sudah mengkhawatirkan. Dalam lima tahun terakhir, BMG mencatat kenaikan suhu maksimum sebanyak 0,4-0,5 derajat Celsius. Bahkan, suhu maksimum pernah mencapai titik ekstrem hingga 34 derajat Celsius pada 2005. Konsentrasi angin juga cenderung mulai menyebar, tambahnya. Makin kering Pengolahan data sekunder BMG dari Mei hingga Juni 2008 itu juga menunjukkan hujan cenderung mengumpul di musim hujan sehingga musim kemarau semakin kering. Bertambahnya jumlah hari hujan di musim hujan menyebabkan peningkatan potensi bencana banjir. Tingginya hari hujan juga memicu semakin banyaknya bencana tanah longsor. Minimnya hujan pada musim kemarau berakibat pada rentannya DIY terhadap bencana kekeringan. Meskipun curah hujan tinggi, sebagian besar dari air hujan tidak terserap oleh tanah sehingga kelembapan udara pun tidak bisa dipertahankan. Ke depannya, kampanye penghijauan harus terus digalakkan dan harus benar-benar bisa menyentuh ke tingkat masyarakat. Pemanenan air hujan juga bisa dilakukan dengan membangun sumur resapan. Sumur resapan tersebut sebaiknya dibangun di pekarangan rumah warga untuk menahan air cucuran dari atap rumah. (WKM)

Memanen Air Hujan Di Indonesia

MEMANEN AIR HUJAN DI INDONESIA

Agus Maryono
Dunia ke depan dibayang-bayangi oleh krisis yang sangat mengancam, yaitu krisis persediaan air bersih. Demikian juga di Indonesia, masalah air bersih ini akan secara eskalatif memanas dari tahun ke tahun.
Sengketa atas penggunaan mata air oleh masyarakat dan PDAM di berbagai daerah dan penurunan muka air tanah serta penurunan debit mata air di sebagian besar wilayah Indonesia merupakan suatu indikasi adanya masalah air bersih yang cukup serius dewasa ini.
Di samping itu, kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan secara rutin menimpa kita. Masalah tersebut di antaranya disebabkan oleh kesalahan dalam pengelolaan wilayah daerah aliran sungai dan juga kerusakan lingkungan yang terus berjalan sekarang ini.
Kita sebagai bangsa yang menempati wilayah dengan curah hujan cukup tinggi, 2.000-4.000 mm/tahun, ternyata belum tergerak sedikit pun untuk mengelola potensi air hujan yang begitu besar tersebut.
Tulisan ini menyajikan konsep memanen air hujan (rain water harvesting) untuk segera dikembangkan di Indonesia guna menanggulangi masalah di atas. Istilah memanen hujan sebenarnya berasal dari bidang pertanian, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan air pertanian di daerah arid dan semi arid.
Namun, upaya memanen hujan di dunia internasional saat ini menjadi bagian penting dalam agenda global environmental water resources management dalam rangka penanggulangan ketimpangan air pada musim hujan dan kering (lack of water), kekurangan pasokan air bersih penduduk dunia, serta penanggulangan banjir dan kekeringan.
Memanen hujan dapat didefinisikan sebagai upaya menampung air hujan untuk kebutuhan air bersih atau meresapkan air hujan ke dalam tanah untuk menanggulangi banjir dan kekeringan.
Perkembangan terakhir di negara maju yang dapat dilihat di International Exhibition on Water and Wastewater di Munic, Jerman, 24-29 April 2005, justru mulai ada tren besar-besaran untuk membuat kolam tandon air hujan skala rumah tangga untuk keperluan mengepel, mencuci mobil, menyiram tanaman, menggelontor toilet, bahkan ada yang dilengkapi sekaligus dengan perangkat pengolahan air mini sehingga seluruh air hujan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum.
Salah satu contoh implementasi memanen air hujan adalah kebutuhan air bandara di Frankfurt, Jerman, dipasok dari air hujan yang dikumpulkan dari atap bandara tersebut.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa metode hujan yang telah berkembang dan beberapa wacana memanen hujan yang dapat dikembangkan di Indonesia, baik memanen hujan yang langsung bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih rumah tangga maupun memanen air hujan untuk mengisi air tanah.
Metode memanen hujan
Kolam tandon air rumah tangga sudah banyak dipakai masyarakat secara tradisional sebagai cadangan air bersih. Misal kolam tandon harian komunal di Gunung Kidul, DI Yogyakarta (kolam PAH atau kolam pengumpul air hujan).
Tiap keluarga secara individual membuat kolam tandon di bawah rumah atau di bawah teras. Untuk rumah sederhana dan rumah tingkat atau hotel dapat digunakan kolam tandon vertikal bentuk silinder dengan diameter 1-2 meter, disesuaikan dengan desain rumah yang ada, sehingga pengalirannya dapat dengan metode gravitasi.
Metode ini sangat menguntungkan karena minimal selama musim hujan kebutuhan dasar air bersih dapat ditopang dengan bak tandon ini. Dengan cara ini, kantor-kantor pemerintah dan swasta dapat memulai memanen hujan untuk mengurangi anggaran air bersih dari PDAM selama sekitar tujuh bulan (pada musim hujan dan beberapa bulan pada awal musim kemarau).
Metode kolam untuk menampung air sudah dipraktikkan secara tradisional oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Setiap rumah tangga dulu mempunyai kolam jogangan sekaligus untuk memelihara ikan atau merendam kayu.
Metode kolam dalam skala besar juga sangat mudah untuk disosialisasikan melalui pola pemenuhan kebutuhan bahan uruk (bahan galian C). Pemerintah dan masyarakat dapat mencari lokasi tambang galian C, kemudian dikeruk. Hasil galiannya dipakai sebagai bahan uruk, bekas galiannya dipakai sebagai kolam resapan air hujan sekaligus dapat dikembangkan untuk rekreasi.
Cara ini banyak dipraktikkan di negara-negara maju sehingga dalam jangka waktu tertentu mereka mempunyai banyak sekali danau buatan dari tambang galian C. Di samping itu, konstruksi kolam dapat dibangun di areal permukiman.
Limpasan air hujan suatu kawasan permukiman ditampung di kolam untuk diolah kembali menjadi air minum, bahkan untuk kebutuhan air irigasi. Cara ini sudah banyak dipraktikkan di kompleks-kompleks perumahan perusahaan pertambangan di Sumatera dan Kalimantan.
Sedangkan metode sumur resapan sudah banyak dikenal masyarakat dan dapat diimplementasikan pada setiap unit perkantoran, tempat-tempat rekreasi, olahraga, pada ruas-ruas jalan, lapangan terbang, dan lain sebagainya. Masyarakat sudah banyak mengenal sumur resapan, namun implementasinya masih tergolong lambat.
Tanggul pekarangan
Masyarakat di pedesaan di Indonesia sampai saat ini masih mempunyai metode menanggulangi erosi pekarangan dengan membuat "tanggul pekarangan rendah" setinggi 20-30 cm dari susunan batu kosong atau batu bata dan tanaman mengelilingi pekarangan mereka.
Metode tersebut telah banyak dilakukan di daerah Magelang dan Temanggung, Jawa Tengah, dan Sleman, DI Yogyakarta. Konstruksi ini ternyata juga berfungsi sebagai pola memanen hujan karena limpahan limpasan hujan akan tertahan dan meresap di areal pekarangan, tidak langsung mengalir ke sungai, dan sumur mereka tidak pernah kering.
Modifikasi lanskap untuk memanen hujan sedang banyak dikerjakan di beberapa negara maju, misal di Kanada, Jerman, dan Jepang.
Salah satunya dengan mengganti jaringan drainase kawasan dengan cekungan-cekungan di berbagai tempat (modifikasi lanskap) sehingga air hujan akan tertampung di lokasi cekungan tersebut.
Cara modifikasi lanskap ini ternyata dapat menekan biaya konstruksi jaringan drainase suatu kawasan lebih dari 50 persen. Di Indonesia metode ini secara tradisional sebenarnya sudah berkembang.
Masyarakat "memodifikasi lanskap" mereka dengan membuat parit-parit kecil dan cekungan-cekungan dangkal di pekarangan mereka sekaligus sebagai ornamen kebun pekarangan.
Pemerintah dan masyarakat mengusahakan suatu kawasan atau wilayah tertentu yang khusus diperuntukkan sebagai daerah pemanenan air hujan (peresapan air hujan) yang dijaga deversifikasi vegetasinya dan konstruksi apa pun tidak boleh dibangun di atas areal tersebut.
Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai peresapan tinggi dan bebas dari kontaminasi polutan. Konsep ini belum banyak dikenal di Indonesia, maka setiap daerah perlu segera mencari lokasi atau kawasan yang dapat dikembangkan menjadi cagar alam resapan air hujan ini.
Kondisi danau, telaga, dan situ di berbagai tempat di Indonesia semakin memburuk, daya tampungnya berkurang drastis karena sedimentasi, jumlahnya berkurang drastis karena banyak yang diuruk dan dijarah dijadikan areal pemukiman.
Metode rain water harvesting dapat dilakukan untuk merevitalisasi kembali danau, telaga, dan situ dengan konsep ekohidraulik, yaitu memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi dan hidraulik penyusun telaga, situ, dan danau yang bersangkutan sehingga dapat berfungsi menampung dan meresapkan air hujan serta dapat digunakan untuk keperluan air minum maupun pengisian air tanah.
Berdasarkan penelitian di daerah Pati, Grobogan, dan Gunung Kidul, danau, telaga, dan situ yang masih alami sempadannya umumnya kualitas dan kuantitas airnya bagus.
Terakhir, ironis sekali karunia hujan yang begitu besar di Indonesia ini masih kita telantarkan. Air hujan dengan kualitas cukup tinggi yang turun lima sampai enam bulan dalam satu tahun di kawasan kita sungguh merupakan potensi yang sangat luar biasa.
Namun, sebagian besar masyarakat kita tidak sadar bahwa air hujan yang hampir setiap hari mengguyur rumah dan membasahi pelataran kita dapat digunakan sebagai sumber air bersih yang andal.
Padahal, kita sadar bahwa kondisi penyediaan air bersih negara ini mengkhawatirkan, banjir dan kekeringan setiap tahun selalu mengancam. Sementara itu, teknologi tradisional dan kearifan lokal untuk memanen hujan yang pernah dan masih ada dalam masyarakat kita kebanyakan sudah tidak dimengerti generasi muda kita.
Oleh karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah dan masyarakat mulai sekarang adalah menyadarkan masyarakat tentang potensi air hujan ini serta menggali dan mengembangkan metode-metode tepat guna untuk memanen hujan seoptimal mungkin guna pemenuhan kebutuhan air kita sehari-hari, mengurangi banjir dan kekeringan.
Dr Ing Ir Agus Maryono Peneliti Ekohidraulik, Sungai, Banjir, Kekeringan, dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada

Retarding Basin

Retarding Basin
Oleh: Dr.-Ing.Ir.Agus Maryono

 Jakarta diterjang banjir bandang lagi. Kali ini lebih luas dan menyedihkan,
setelah banjir besar 2002 dan banjir kecil dan menengah tahun 2003, 2004, 2005,
dan 2006.
Adakah metode efektif yang ramah lingkungan untuk mengatasi banjir sekaligus
bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kekeringan kota?
Oleh banyak negara, masalah serupa diselesaikan dengan metode retarding basin
ramah lingkungan. Filosofi metode ini adalah mencegat air yang mengalir dari
hulu dengan membuat kolam-kolam retensi (retarding basin) sebelum masuk ke
hilir. Retarding basin dibuat di bagian tengah dan hulu kanan-kiri alur
sungai-sungai yang masuk kawasan yang akan diselamatkan.

Contoh implementasi metode retarding basin adalah penyelesaian banjir di
wilayah hilir Sungai Rhine di Eropa. Untuk mengurangi banjir yang menerjang
kota-kota di wilayah Jerman dan Belanda bagian hilir, dimulailah (integriertes
Rheisprogram) dengan membuat retarding basin-retarding basin di sepanjang
Sungai Rhine di bagian tengah dan hulu, mulai dari kota Karslruhe (di
perbatasan Perancis dan Jerman) sampai ke kota Bassel di perbatasan Jerman,
Swiss, dan Austria.

Retarding basin ini dibangun untuk memotong debit puncak banjir Sungai Rhine
yang akan menyusur menuju hilir masuk kota-kota penting, seperti Koeln,
Dusseldorf, dan akhirnya Rotterdam. Volume air bah pada puncak banjir akan
disimpan di retarding basin selama banjir berlangsung dan akan dikeluarkan
setelah banjir reda. Retarding basin ini terbukti efektif menurunkan banjir
yang terjadi di sepanjang Sungai Rhine di bagian hilir.
Program pembangunan retarding basin besar-besaran ini terus dikerjakan
mengingat keberhasilannya cukup signifikan dan efeknya bagi perbaikan kualitas
lingkungan serta konservasi air di daerah tengah dan hulu tinggi.

Penyimpan air

Fungsi retarding basin selain untuk memangkas puncak banjir, juga sebagai
penyimpan air untuk dilepaskan pada saat musim kemarau dan meningkatkan
konservasi air tanah karena selama air tertahan peresapan air terjadi. Dengan
adanya cadangan di retarding basin, pada musim kemarau air dapat dipakai untuk
penggelontoran saluran drainase dan sungai-sungai di daerah hilir.

Retarding basin harus didesain ramah lingkungan, artinya bangunannya cukup
dibuat dengan mengeruk dan melebarkan bantaran sungai, memanfaatkan sungai mati
atau sungai purba yang ada, memanfaatkan cekungan-cekungan, situ, dan rawa-rawa
yang masih ada di sepanjang sungai, dan dengan pengerukan areal di tepi sungai
untuk dijadikan kolam retarding basin.

Disarankan, dinding retarding basin tidak diperkuat dengan pasangan batu atau
beton karena selain harganya amat mahal, juga tidak ramah lingkungan dan
kontraproduktif dengan ekohidraulik bantaran sungai. Tebing-tebing itu cukup
diperkuat dengan aneka tanaman sehingga secara berkelanjutan akan meningkatkan
kualitas ekologi dan konservasi air.

Untuk penanganan banjir di Jakarta, retarding basin dapat dibuat di bagian
tengah dan hulu dari 13 sungai yang mengalir ke jantung kota Jakarta, seperti
Sungai Ciliwung, Cisadane, Mookervart, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Kali Baru
Barat, Cipinang, Sunter, dan Cakung.
Pembuatan retarding basin ramah lingkungan dapat diawali dengan inventarisasi
lokasi sepanjang alur sungai dengan prioritas dari bagian tengah hingga hulu.
Inventarisasi ini dimaksudkan untuk menemukan lokasi-lokasi kanan-kiri sungai
yang bisa dijadikan lokasi retarding basin. Setelah lokasi-lokasi yang cocok
ditemukan, dapat dilakukan pembebasan tanah dan dimulai pembuatan retarding
basin secara bertahap. Pembebasan tanah di pinggir sungai di daerah tengah dan
hulu, yaitu di daerah Bekasi ke arah hulu, kiranya tidak memakan biaya mahal
seperti pembebasan tanah di Jakarta Pusat.

Pembuatan retarding basin ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan
pembuatan banjir kanal-banjir kanal. Karena selain lokasinya di luar daerah
pusat perekonomian, konstruksinya juga ramah lingkungan dan tidak diperlukan
konstruksi-konstruksi tambahan lain, seperti jembatan pelintasan, tanggul, dan
perlindungan tebing.

Masih ada lokasi

Menurut studi makro peta Jakarta, penulis berkesimpulan, ke-13 sungai di
Jakarta hampir semua masih mempunyai areal pinggir sungai yang bisa
dimanfaatkan sebagai kolam retarding basin, terutama di daerah Jakarta Selatan,
Depok, dan masuk Kabupaten Bogor. Untuk daerah Jakarta Selatan sampai
perbatasan dengan Depok, misalnya, di Sungai Ciliwung kolam retarding basin
bisa dibangun di sepanjang pinggir sungai dari Kompleks TNI-Cilandak hingga
daerah MT Haryono, pada Sungai Pesanggrahan di daerah Cirendeu, Kompleks Lebak
Bulus, dan Kebayoran Lama; pada Sungai Krukut di daerah Ksatriaan Marinir
Cilandak, Cilandak Timur, daerah sekitar Kemang dan Karet, pada sungai Sunter,
daerah Cipinang dan Kelapa Gading Barat. Juga untuk sungai-sungai lain masih
banyak daerah dapat digunakan areal retarding basin pinggir sungai.

Dengan dibangunnya retarding basin-retarding basin yang ramah lingkungan
dengan jumlah cukup, diyakini banjir Jakarta dapat diredam. Air dari bagian
tengah dan hulu dapat direm sementara masuk retarding basin dan akan keluar
jika gelombang banjir mulai menyurut. Jumlah retarding basin yang harus
dibangun sesuai hitungan volume banjir yang akan direduksi. Semakin banyak
retarding basin, tinggi dan volume genangan yang dapat diatasi kian besar.
Penanganan banjir di suatu lokasi tertentu dapat diprioritaskan dengan cara
membuat retarding basin di bagian hulu dari sungai yang menuju lokasi itu. Jadi
untuk mengatasi banjir di sepanjang Ciliwung hilir dan Istana Negara, misalnya,
dapat dibuat retarding basin dalam jumlah cukup banyak di sebelah hulu aliran
sungai tersebut.
Berdasarkan telaah itu, Pemerintah DKI sebaiknya memprogramkan pembuatan
retartding basin secara simultan terus-menerus sehingga banjir Jakarta dengan
keyakinan penuh dapat diatasi sekaligus konservasi air pada musim kemarau
terjaga. Namun, perlu diingat, penanggulangan banjir dengan metode ekohidraulik
ramah lingkungan lain, seperti memanen hujan, ekodrainase, sumur peresapan,
areal resapan, penghijauan, penghutanan kembali, penghentian penebangan hutan,
revitalisasi sungai rawa dan situ, peninggian jembatan rendah, serta
menghidupkan kembali transportasi sungai di Jakarta harus dilakukan secara
serius dan terintegrasi.

Agus Maryono
Peneliti Sungai, Banjir, dan Ekohidraulik; Dosen Fakultas Teknik, MST FT UGM

KOMPAS, Kamis, 08 Februari 2007, Rubrik Opini
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0702/08/opini/3301174.htm

Rabu, 25 Februari 2009

"Eko-Engineering" untuk Tanggulangi Longsor

"Eko-Engineering" untuk Tanggulangi Longsor
Oleh : Dr.-ing.Ir.Agus Maryono

Musim hujan yang akan segera berakhir telah meninggalkan berbagai bencana, dari banjir hingga tanah longsor. Kejadiannya merata dari metropolitan Jakarta, sampai ke Kebumen, Demak, Kudus, Bandung, Surabaya, Medan dan Semarang. Disamping banjir yang meminta korban manusia, paskabajir mulai terlihat dampak lain seperti longsoran tebing, baik tebing sungai maupun tebing pada umumnya. Kerusakan tebing akibat erosi banjir perlu segera ditanggani guna menghindari kemungkinan erosi atau longsoran yang lebih hebat pada periode berikutnya........bersambung.....Kompas hal 22, 17 aret 2002

Selasa, 24 Februari 2009

Bendung dan Kelestarian Ikan Sungai

Bendung dan Kelestarian Ikan Sungai
Oleh : Dr -Ing.Ir.Agus Maryono


Ribuan jenis ikan air tawar di Indonesia dewasa ini ditenggarai punah. Masyarakat 20 tahun yang lalu masih melihat banyak sekali populasi ikan air tawar di sungai-sungai sekitar mereka. Saat ini, ikan-ikan itu hampir tidak ada lagi.


Masyarakat biasanya hanya mengklaim bahwa penyebab hilangnya ikan-ikan tersebut adalah pencemaran air sungai yang sedemikian tinggi dan penangkapan ikan yang tidak terkendali.
Masyarakat belum melihat bahwa ada penyebab lain yang juga cukup signifikan, yaitu pembangunan bendung-bendung melintang sungai. Demikian juga konstruksi fisik hidraulis lainnya yang tidak memperhatikan kelestarian berbagai jenis ikan air tawar tersebut.
Pembangunan bendung (weir) di seluruh pelosok Tanah Air, umumnya masih menggunakan konstruksi bendung permanen melintang badan sungai. Akibatnya, seluruh tampang sungai tertutup bendung tersebut. Tipe bendung seperti ini merupakan tipe yang sampai saat ini lazim dibuat diseluruh Indonesia.
Lalu, apa kaitan bendung tersebut dengan kepunahan ikan air tawar yang semakin memprihatinkan? Perlu diketahui bahwa pembangunan bendung melintang sungai ini masih hanya menggunakan pendekatan hidraulis konvensional. Bendung hasil rekayasa seperti ini sama sekali tidak memikirkan sejauh mana dampaknya terhadap fauna air. Dengan adanya bendung melintang sungai, maka segala jenis fauna air, seperti berbagai jenis ikan yang mempunyai karakteristik migrasi dari hulu ke hilir dan sebaliknya, tidak dapat hidup di wilayah sungai yang bersangkutan. Hal itu karena rute migrasi mereka terblokade (terhalang) bendung.
Migrasi seperti dilakukan oleh ikan dan fauna air lainnya untuk menyesuaikan karakteristik psikologinya dengan kondisi sungai. Mereka juga mencari makanan maupun untuk menghindari predator pemangsanya. Populasi ikan yang mempunyai kebiasaan bermigrasi untuk sungai-sungai di Indonesia mencapai sekitar 25-30 persen (Namastra Probosunu, 2003).
Banyak ikan air tawar yang harus meletakkan telurnya dihulu sungai. Karena itu, mereka harus kehulu untuk bertelur. Kemudian mereka kembali ke arah hilir untuk hidup biasa. Setelah menetas, anak-anak ikan tersebut akan kembali ke hilir untuk hidup. Demikian juga sebaliknya, banyak ikan yang mempunyai kebiasaan meletakkan telur dihilir dan hidup di hulu. Contoh klasik untuk ikan-ikan yang bermigrasi adalah ikan salmon, sidat atau belut sungai-laut (M reitaborua), ikan kuweh (C ignobilis), ikan belanak (M chepalus), ikan keting (M nemurus), ikan garing (L sora), ikan kulari (T hispidus), dan masih banyak jenis lainnya (Proceeding ASEHI, 2001).(Kompas Rabu, 23 Juli 2003).........bersambung........